Sabtu, 27 Juni 2015

"Ayo Lebih Rajin!"


Jakarta,
Spine Body Center, APL Tower, lt.25
27 Juni 2015
10:21 [WIB]

     Woops! Sudah lama sekali aku tidak melanjutkan jurnal ini. Bulan lalu, aku tidak sempat menuliskan hasil kunjunganku. Yaah, kesibukan menjelang ujian nasional memang tidak bisa kuhindari. Syukurlah, sekarang aku sudah lulus dengan nilai yang cukup memuaskan! Rencananya, aku akan melanjutkan sekolahku di SMAN 3 Bandung. Doakan aku ya! :)
     Kunjungan bulan lalu, kunjungan ketigaku di Spine Body Center (BackUp Clinic ganti nama!), tidak begitu menarik untuk diceritakan. Singkatnya, aku hanya diberikan bermacam-macam jenis exercise (senam) untuk dilakukan di rumah, oleh dr.Liem. Aku masih kesulitan mengikuti gerakan dr.Liem, tapi yaaa ada kemajuan jika dibandingkan dengan latihan pernapasanku di kunjungan sebelumnya. Jadi, senam itu meliputi gerakan memutar lengan kananku kebelakang, dan kembali lagi kedepan; tidur dengan posisi miring ke kanan, dengan gulungan handuk mengganjal bagian tulangku yang melengkung; dan memutar tubuhku —tanpa sedikitpun menggerakan leher, kaki, dan pinggul— searah jarum jam, sambil menyeimbangkan bahuku, agar punggungku tampak "rata". Kedengarannya sederhana, memang. Tapi aku tak bisa melakukannya tanpa meringis kesakitan. Yep, aku tak bisa memutar lengan kananku dengan normal, seperti yang bisa kulakukan pada lengan kiriku. Dr. Liem bilang, karena rotasi yang aku punya pada tulang belakangku, menyebabkan tulang punggung kananku menonjol dan tulang punggung kiriku melesak kedalam. Jadi aku tak bisa memutar lenganku karena tulang punggungku yang menonjol tidak menolerir gerakan itu. Tapi dr.Liem bilang, jika aku terus berlatih, aku akan bisa melakukan itu dengan sendirinya. Me"rata"kan punggungku seperti yang dikatakan dr.Liem tidaklah susah. Aku memakai rusuk depanku sebagai panduan, karena aku tidak bisa melihat bagian belakang tubuhku sendiri. Tidak terlalu sulit mulanya, namun jika dilakukan selama 15 menit tanpa berhenti, tulang belakangku terasa terbakar dan mati rasa.
     Jadi, aku kembali lagi kesini, hari ini. Jadwalku yang sudah ditentukan adalah review dengan dr. Liem (jam 08.30), dan exercise dengan Mbak Novi (jam 09.30). Aku review di ruang 4, ruangan yang setahuku biasanya digunakan dr.Fong. Tidak jauh berbeda dengan ruangan tempat biasanya aku review. Pertama-tama, pertanyaan-pertanyaan biasa.
"Berapa lama kamu pakai brace-nya?" Kujawab jujur, "20 jam sehari."
"Ada yang sakit?" Kujawab lagi, "ya, dok, pinggul kananku sering sakit dan aku masih kesulitan bernapas jika brace-ku dilepas." Mendengar jawabanku, dr.Liem tersenyum, "wajar, my dear, itu efek skoliosis."
"Shoelift?" Aku tersenyum, "selalu pakai."
"Exercise-nya?" Aku bisa merasakan wajahku memerah. Ibuku menimpali, "dia masih malas, dok." Dr.Liem menatapku dengan senyuman yang tak bisa kuartikan, "nah?" Sejujurnya, waktuku selama dua bulan terakhir kuhabiskan untuk belajar dan mengerjakan soal. Bagaimana mungkin aku ingat berlatih macam-macam hal yang sebenarnya tidak kusukai? Tapi aku tidak mengajukan pembelaan, aku hanya diam dan nyengir polos.
     Dr.Liem mengerutkan keningnya, dan mulai bercerita, "Saya punya seorang pasien, skoliosisnya sebenarnya tidak terlalu parah, namun dia malas. Malasnya lebih lagi dari kamu, dia hanya pakai brace 5 jam sehari. Dia melakukannya terus hampir sepanjang 6 bulan, dan hasilnya," dr. Liem menggeleng dengan ekspresi prihatin, "saya terpaksa harus mengancam dia dengan prosedur operasi, akhirnya dia tidak malas lagi. Tapi 12 bulan berikutnya, skoliosisnya memang berkurang, hanya saja tidak sebagus saat saya memakaikan brace itu pertama kali." Saat dr.Liem selesai bercerita, aku sadar itu juga ancaman halus untukku. Jika aku tidak melakukan apa yang seharusnya kulakukan, aku dipastikan menyesal suatu saat nanti.
     Setelah menjanjikan bahwa aku akan lebih rajin, dr.Liem memeriksa keadaanku saat aku menggunakan Spine Cor. Ada perasaan puas saat dr.Liem bilang, rotasi tulang belakangku (yang diatas) dalam keadaan netral. Lalu, dr.Liem mengukur lengkunganku dengan scoliometer. Kemudian, Suster Ara mengukur tinggi dan menimbang berat badanku (tinggi badanku naik 2cm!), lalu aku harus melepaskan brace dan memulai lagi pemeriksaannya dari awal. Pemeriksaan itu diulang tiga kali. Pertama dengan brace yang ditetapkan oleh dr.Liem bulan lalu, kedua tanpa brace, dan terakhir bracing ulang sesuai pemeriksaan hari ini. Dr.Liem bilang, keadaan tulang punggungku yang tidak sama rata ini sebenarnya diakibatkan oleh rotasi yang aku punya, bukan oleh lengkungan skoliosisku. Jadi, penting sekali bagiku untuk memakai Spine Cor ini selama mungkin, karena dalam keadaan memakai brace, rotasiku netral. Dr. Liem banyak menceritakan pasien-pasiennya, sambil memeriksa keadaanku. Ada pasiennya yang memenangkan kompetisi menari (gadis itu menari dengan Spine Cor melilit tubuh!), atau ada juga seorang anak 13 tahun yang rotasinya sudah mencapai 77°, namun masih berkeras menggunakan Spine Cor, walau sebenarnya itu sudah diluar kesanggupan brace manapun untuk mengoreksi. Sayangnya, setelah 3 bulan, terbukti bahwa operasi bedah adalah satu-satunya jalan untuk mengembalikan posisi tulang anak itu ke keadaan yang lebih baik. Oh iya, dr.Liem juga bilang, bahwa tingkat keberhasilan pengoreksian tulang belakangku ini, bergantung pada rajin tidaknya aku menggunakan brace (+shoelift), gen yang aku punya, dan seberapa sering aku exercise. Karena serajin apapun seseorang, jika gen nya tetap memaksa skoliosisnya untuk tetap atau bertambah melengkung, maka tidak ada brace yang bisa menolong. Kecuali, operasi bedah tentunya, yang mendengar prosedurnya saja sudah cukup untuk membuat siapapun ngeri.
     Ketika dr.Liem memeriksa keadaan brace-ku, ada satu komponen yang tidak elastis lagi. Artinya, karena komponen itu sudah tidak layak pakai, aku harus mengganti dengan yang baru. Berhubung kontrak garansi yang tiga bulan sudah lewat, aku dikenai biaya untuk komponen yang baru ini. Komponen itu tidak besar, tidak juga terlalu panjang. Panjangnya hanya sekitar 40 cm, dengan lebar 10cm. Warnanya juga putih bersih, tanpa motif apapun. Namun, untuk penambahan komponen itu orang tuaku harus mengeluarkan biaya yang lumayan.
     Setelah review, aku harus exercise bersama Mbak Novi. Mbak Novi itu salah satu terapist di Spine Body Center. Ia manis dan rambutnya dipotong pendek. Exercise-ku cukup sederhana. Aku melakukannya tanpa mengenakan brace. Dimulai dari latihan pernapasanku (yang sudah mulai kukuasai), lalu gerakan sederhana lainnya. Aku harus memutar tubuhku — hanya tubuhku— ke kiri, lalu memutarnya kembali ke kanan tanpa mengubah posisi bahu kiriku. Dengan posisi seperti itu, tulang belakangku berada dalam keadaan stretch. Lalu, aku harus menggeser masuk tulang belakangku yang melengkung (bagian kanan). Bagian ini sedikit sulit, namun lama kelamaan aku bisa. Jadi, tarik napas; putar kiri; putar kanan; geser. Gerakan ini sangat sederhana sebenarnya, tapi aku harus melakukannya semaksimal mungkin. Mbak Novi bilang, aku harus banyak berenang. Aku terlalu kaku, katanya, dan berenang juga akan membantu untuk memaksa tulang belakangku kembali ke posisinya yang benar. Mbak Novi hanya menyarankan agar aku berenang dengan gaya bebas agar keadaan bahuku seimbang. Tiap setengah menit, Mbak Novi mengencangkan posisiku sehingga punggungku panas dan perih. Setiap senti dari ototku menjeritkan rasa sakit yang sama. Aku berusaha keras agar tidak meringis. Kami melakukan stretching — meregangkan otot— setiap 5 menit sekali. Aku mengulang gerakan itu sebanyak 3 kali. Dua kali dalam posisi duduk, sekali dalam posisi berdiri. Namun, saat aku selesai stretching dan berdiri untuk melakukan exercise-nya sekali lagi, aku segera tau ada yang salah.
     Sudut-sudut pandanganku mulai menghitam, rasa sakit menghantam kepalaku begitu aku memejamkan mata. Aku membuka mata berharap mulai membaik, namun keadaan malah semakin buruk. Ruangan ini terasa berputar, dan titik titik hitam di mataku muncul semakin banyak. Aku mencengkram kursi dan duduk terhenyak disitu. Mbak Novi menyapaku khawatir, tapi suaranya terasa jauh sekali. Aku menggumam — atau kurasa itu suaraku— memanggil ibuku, dan saat ibuku ada disampingku, memanggilku, rasa panik dan sakit menguasaiku. Aku meringkuk dikursi, kewalahan dengan pusing dan mual yang menyerangku. Pandanganku sudah benar-benar hitam. Jangan pingsan disini, jangan pingsan disini. Aku masih membenamkan wajahku di tangan. Akhirnya, aku membaik. Hanya tersisa sedikit rasa mual, tapi pandanganku tak lagi gelap. Aku tidak tau apa yang membuatku membaik, tapi kelihatannya minyak kayu putih ditangan Mbak Novi-lah jawabannya. Aku mengangkat wajah dan melihat wajah cemas Suster Ara, Suster Isa dan Ibuku disekelilingku. Mbak Novi adalah satu-satunya yang tidak terlihat cemas. Ia membalurkan minyak kayu putih itu disekujur tubuhku dan memijat leherku. Aku nyaris mendesah lega saat rasa dingin dari minyak kayu putih itu mengalir di leherku. Saat aku melihat kaca, yang kulihat adalah bayanganku dengan wajah lesi. Aku membiarkan Mbak Novi memulihkanku, dan suaranya terdengar menenangkan, "gapapa, kamu lagi puasa kan? Wajar" ujarnya. Pasti karena capek dijalan, ditambah lagi aku melakukan segala gerakan menyakitkan tadi itu membuatku jadi drop. Tapi syukurlah aku tidak muntah sehingga tidak perlu membatalkan puasaku.
     Setelah aku pulih, aku ditinggalkan sendirian untuk berganti pakaian. Walau tubuhku sudah menguarkan aroma minyak kayu putih yang menyengat tapi aku tidak peduli. Aku malah membalurkan lebih banyak lagi di perut dan leherku. Setelah memakai brace dan pakaianku, aku pulang.
     Kunjunganku hari ini, membuatku sadar kalau aku harus rajin exercise, dan menuruti semua kata dokter. Apa saja yang membuat tulang belakangku membaik harus kulakukan. Jadi... Doakan aku ya, pembaca!♥

-puterica.
p.s: postingan berikutnya akan berisi foto-foto tentang skoliosisku. stay tune!

2 komentar: