Jumat, 31 Juli 2015

Dear Society, Please Understand Us.

Bandung,
31 Juli 2015
[8:23 PM]

     Halo bloggers! Jumpa lagi ya:) Hari ini, aku belum bisa posting foto-foto 'perjalanan'ku menaklukkan skoliosisku, tapi aku ingin bercerita sesuatu.
     Aku resmi menjadi siswi SMA Negeri 3 Bandung. Terimakasih untuk doa para bloggers! Sebelum memasuki proses KBM (Kegiatan Belajar Mengajar), tentu saja aku harus mengikuti masa orientasi. MOPD (Masa Orientasi Peserta Didik) di SMAN 3 Bandung, adalah kegiatan yang menyenangkan. Kakak kelas-kakak kelas disana, benar-benar menyerupai figur seorang kakak. Tidak ada bentakan, cacian, dan sebagainya. Salah satu kakak kelasku bilang, mereka mendidik kami agar memiliki karakter yang baik, dan tidak perlu membentak untuk mendidik hal itu. Yang jelas, memiliki kakak kelas-kakak kelas seperti mereka yang kini kelas 11 dan 12 di SMAN 3 Bandung, adalah salah satu hal yang sangat kusyukuri. Terutama pembimbing kelasku, Kang Haikal, Teh Lintang, dan Teh Shamira. Terimakasih Akang dan Teteh-teteh!
     Hari ini, aku belajar banyak hal dari satu pengalaman. Seperti yang sudah kusebutkan di post sebelumnya, Dr.Liem melarangku banyak hal. Termasuk dilarang duduk dilantai. Dr.Liem bilang, duduk di lantai akan membuat tulang pinggulku, yang sudah miring, menjadi semakin miring. Aku juga sudah sering merasakan sakit menusuk-nusuk di bagian sekitar pinggang dan pinggulku. Rasa menusuk-nusuk itu bisa berubah jadi semacam sensasi tulangku terbakar. Belum lagi punggungku yang berdenyut-denyut menjeritkan sandaran yang lurus. Dan dalam hitungan satu menit, kakiku akan kesemutan. Menit berikutnya, kakiku kebas. Jadi, seperti yang Dr.Liem katakan, aku MEMANG tidak diperbolehkan duduk di lantai kecuali dengan posisi yang sudah ditentukan oleh terapisku. MOPD di SMAN 3 Bandung, lebih sering diadakan di aula. Selama penjelasan banyak hal tentang fasilitas dan sistem di SMAN 3 Bandung, kami diharuskan duduk di lantai. Dan, itu berlangsung sudah 5 hari.
     Hari pertama dan kedua, aku masih bertahan. Dalam artian, aku menyimpan semua keluhanku terkatup rapat di bibir. Hari ketiga, aku mulai mengeluh. Hari keempat, keluhanku mulai disertai omelan dan rutukan pada segala hal yang membuatku kesakitan. Hari kelima, hari ini, aku baru merasakan sesuatu yang salah.
     Pertama, aku dipanggil oleh panitia saat demo ekskul Keamanan 3 yang tidak memperbolehkan anak yang memiliki 'penyakit berat' menonton demonstrasi mereka. Aku pergi dari ruangan diiringin dengan tatapan anak anak lain. Selanjutnya, kualami saat aku memulai tour ke pos-pos ekstrakulikuler yang ada di seluruh penjuru SMAN 3 Bandung.
     Beban tasku kebetulan berat sekali. Aku kepayahan, tapi kusimpan keluhanku rapat-rapat. Aku mengikuti acara dengan lemas dan juga cemas. Punggungku bisa kambuh sewaktu-waktu. Tepat saat aku diharuskan berjalan cepat, kakiku kebas. Keringat dingin otomatis mengucur didahiku. Jika aku baru saja duduk lama, maka kebas di kakiku berarti wajar. Tapi kebas ini muncul tiba-tiba. Ada sesuatu yang salah. Aku mengikuti acara berkeliling itu setabah yang aku bisa. Namun saat aku harus mendaki tangga ke Aula Lama, aku harus susah payah agar tidak berhenti di tengah jalan. Kakiku menolak untuk bekerja sama. Tapi jika aku berhenti, aku akan membuat orang lain repot dan khawatir. Jadi, aku harus terus maju. Berbuat seakan tidak ada apa-apa. Bersikap seperti aku baik-baik saja. Setengah jam kuhabiskan dengan menahan jeritan di bibir, hingga saat kami berhenti di Koridor Utama, aku nyaris ambruk. Aku kepayahan sekali. Tidur di dipan kerasku adalah satu-satunya yang kudambakan saat itu. Singkat cerita, akhirnya aku menyerah pada rasa sakitnya, dan aku digiring panitia untuk beristirahat.
     Sambil beristirahat, aku melakukan cara pernapasan seperti yang diajarkan Mbak Novi saat fisiotherapy. Perasaanku mulai membaik. Kugerakkan tubuhku pelan-pelan, berusaha 'menenangkan' skoliosisku, lalu keadaanku berangsur-angsur membaik. Aku menatap teman-teman satu angkatanku, yang sedang berbaris. Beberapa balik menatap, tapi aku terlalu sibuk menenangkan diri untuk memahami tatapan mereka. Belakangan, aku yakin beberapa anak yang menatapku melakukannya dengan perasaan iri, kasihan, dan lelah juga. Aku memulihkan diriku sendiri. Dan saat aku mulai pulih, aku mendengar hal buruk dari temanku.
     Seseorang mengecamku. Ia bilang bahwa aku adalah gadis yang lemah. Aku menyerah pada penyakitku. Aku memilih kelihatan lemah dan tidak berusaha terlihat kuat. Aku lemah.
    Kata-kata itu terngiang di telingaku. Perasaan bahwa aku adalah seseorang yang lemah sangat menggangguku. Aku malu. Aku malu karena menyerah begitu saja. Aku malu karena tidak tabah. Seharusnya tadi aku berpura-pura kuat, menyimpan masalahku untuk sendiri saja. Pikiran itu menggangguku hingga saat ini.
     Lalu, aku menemukan alasan mengapa aku memilih menyerah hari ini.
     Seorang scolioser, dilarang banyak hal berbeda oleh dokter. Scolioser, tidak boleh berlari dan melompat, karena kaki kami tidak sama panjang. Scolioser; tidak boleh berenang kecuali berenang gaya bebas dan punggung karena hanya gaya bebas dan punggung yang bisa membuat bahu kami seimbang. Scolioser, tidak diizinkan olahraga tanpa pengawasan ahli karena tulang kami rawan untuk digerakkan. Scolioser berjuang setiap harinya untuk menaati apa yang dilarang dokter.
     Tubuh kami dililit brace 24 jam sehari. Kami merasakan sakit dengan skala yang berbeda beda jika kami melakukan sedikit saja kesalahan. Kami didera rasa sakit hampir setiap malam karena dipan kami yang keras. Kami tidak lemah.
     Jika tadi aku bersikeras menjalani acara tersebut, sakitku bisa makin parah. Aku bisa saja mati rasa sekujur tubuh, yang akan memperparah keadaan tulangku. Aku tidak lemah. Aku disiplin. Aku menuruti apa yang dokter perintahkan. AKU TIDAK LEMAH! Seorang scolioser tidak pernah lemah. Kami kuat dengan cara kami sendiri. Mengutip dari kalimat Kak Indi Sugar, "...skoliosis bukanlah penyakit. Skoliosis itu kelainan. Artinya, skoliosis tidak bisa disembuhkan. Hanya bisa dikoreksi" yang bisa diartikan bahwa jika tulang belakang kami terasa sakit, kami tidak bisa meminum obat untuk menghilangkan sakitnya. Karena tak ada obat untuk itu. Kami hanya bisa diam. Menunggu sakitnya hilang. Mengoreksi kesalahan yang kami buat saat melakukan banyak kegiatan berat.
     Tak ada orang yang suka dibilang lemah. Semua orang kuat, hanya saja caranya berbeda beda. Menyebut lemah pada seorang scolioser bisa saja menghancurkan perasaannya. Apa rasanya, disebut lemah setelah berjuang mati-matian menahan sakit?
     Jadi, bloggers, jangan pernah sekalipun mengatakan bahwa scolioser adalah seseorang yang lemah. Jika kami beristirahat, kami mengoreksi lengkungan tulang kami. Jika kami berkata tidak sanggup, kami hanya memperjuangkan keadaan kami agar tidak semakin parah. Scolioser bukan orang-orang yang lemah.
     Karena orang-orang yang berjuang, tidak pantas disebut lemah.

-puterica.

1 komentar:

  1. Aku tau banget rasanya dibilang lemah di saat aku lagi berjuang untuk tulangku. Hancur banget ya rasanya? :")
    Mereka ngga akan pernah tau gimana rasa nyeri yang kita alami, atau seberapa pegal yg kita tahan, cuma untuk terlihat "sama" dengan mereka. Gak ada yg mau terlahir berbeda, tapi ketika takdir menginginkan kita berbeda, kita bisa apa?

    Semangat terus ya Putri! kamu ngga sendiri :)

    BalasHapus