Jumat, 31 Juli 2015

Dear Society, Please Understand Us.

Bandung,
31 Juli 2015
[8:23 PM]

     Halo bloggers! Jumpa lagi ya:) Hari ini, aku belum bisa posting foto-foto 'perjalanan'ku menaklukkan skoliosisku, tapi aku ingin bercerita sesuatu.
     Aku resmi menjadi siswi SMA Negeri 3 Bandung. Terimakasih untuk doa para bloggers! Sebelum memasuki proses KBM (Kegiatan Belajar Mengajar), tentu saja aku harus mengikuti masa orientasi. MOPD (Masa Orientasi Peserta Didik) di SMAN 3 Bandung, adalah kegiatan yang menyenangkan. Kakak kelas-kakak kelas disana, benar-benar menyerupai figur seorang kakak. Tidak ada bentakan, cacian, dan sebagainya. Salah satu kakak kelasku bilang, mereka mendidik kami agar memiliki karakter yang baik, dan tidak perlu membentak untuk mendidik hal itu. Yang jelas, memiliki kakak kelas-kakak kelas seperti mereka yang kini kelas 11 dan 12 di SMAN 3 Bandung, adalah salah satu hal yang sangat kusyukuri. Terutama pembimbing kelasku, Kang Haikal, Teh Lintang, dan Teh Shamira. Terimakasih Akang dan Teteh-teteh!
     Hari ini, aku belajar banyak hal dari satu pengalaman. Seperti yang sudah kusebutkan di post sebelumnya, Dr.Liem melarangku banyak hal. Termasuk dilarang duduk dilantai. Dr.Liem bilang, duduk di lantai akan membuat tulang pinggulku, yang sudah miring, menjadi semakin miring. Aku juga sudah sering merasakan sakit menusuk-nusuk di bagian sekitar pinggang dan pinggulku. Rasa menusuk-nusuk itu bisa berubah jadi semacam sensasi tulangku terbakar. Belum lagi punggungku yang berdenyut-denyut menjeritkan sandaran yang lurus. Dan dalam hitungan satu menit, kakiku akan kesemutan. Menit berikutnya, kakiku kebas. Jadi, seperti yang Dr.Liem katakan, aku MEMANG tidak diperbolehkan duduk di lantai kecuali dengan posisi yang sudah ditentukan oleh terapisku. MOPD di SMAN 3 Bandung, lebih sering diadakan di aula. Selama penjelasan banyak hal tentang fasilitas dan sistem di SMAN 3 Bandung, kami diharuskan duduk di lantai. Dan, itu berlangsung sudah 5 hari.
     Hari pertama dan kedua, aku masih bertahan. Dalam artian, aku menyimpan semua keluhanku terkatup rapat di bibir. Hari ketiga, aku mulai mengeluh. Hari keempat, keluhanku mulai disertai omelan dan rutukan pada segala hal yang membuatku kesakitan. Hari kelima, hari ini, aku baru merasakan sesuatu yang salah.
     Pertama, aku dipanggil oleh panitia saat demo ekskul Keamanan 3 yang tidak memperbolehkan anak yang memiliki 'penyakit berat' menonton demonstrasi mereka. Aku pergi dari ruangan diiringin dengan tatapan anak anak lain. Selanjutnya, kualami saat aku memulai tour ke pos-pos ekstrakulikuler yang ada di seluruh penjuru SMAN 3 Bandung.
     Beban tasku kebetulan berat sekali. Aku kepayahan, tapi kusimpan keluhanku rapat-rapat. Aku mengikuti acara dengan lemas dan juga cemas. Punggungku bisa kambuh sewaktu-waktu. Tepat saat aku diharuskan berjalan cepat, kakiku kebas. Keringat dingin otomatis mengucur didahiku. Jika aku baru saja duduk lama, maka kebas di kakiku berarti wajar. Tapi kebas ini muncul tiba-tiba. Ada sesuatu yang salah. Aku mengikuti acara berkeliling itu setabah yang aku bisa. Namun saat aku harus mendaki tangga ke Aula Lama, aku harus susah payah agar tidak berhenti di tengah jalan. Kakiku menolak untuk bekerja sama. Tapi jika aku berhenti, aku akan membuat orang lain repot dan khawatir. Jadi, aku harus terus maju. Berbuat seakan tidak ada apa-apa. Bersikap seperti aku baik-baik saja. Setengah jam kuhabiskan dengan menahan jeritan di bibir, hingga saat kami berhenti di Koridor Utama, aku nyaris ambruk. Aku kepayahan sekali. Tidur di dipan kerasku adalah satu-satunya yang kudambakan saat itu. Singkat cerita, akhirnya aku menyerah pada rasa sakitnya, dan aku digiring panitia untuk beristirahat.
     Sambil beristirahat, aku melakukan cara pernapasan seperti yang diajarkan Mbak Novi saat fisiotherapy. Perasaanku mulai membaik. Kugerakkan tubuhku pelan-pelan, berusaha 'menenangkan' skoliosisku, lalu keadaanku berangsur-angsur membaik. Aku menatap teman-teman satu angkatanku, yang sedang berbaris. Beberapa balik menatap, tapi aku terlalu sibuk menenangkan diri untuk memahami tatapan mereka. Belakangan, aku yakin beberapa anak yang menatapku melakukannya dengan perasaan iri, kasihan, dan lelah juga. Aku memulihkan diriku sendiri. Dan saat aku mulai pulih, aku mendengar hal buruk dari temanku.
     Seseorang mengecamku. Ia bilang bahwa aku adalah gadis yang lemah. Aku menyerah pada penyakitku. Aku memilih kelihatan lemah dan tidak berusaha terlihat kuat. Aku lemah.
    Kata-kata itu terngiang di telingaku. Perasaan bahwa aku adalah seseorang yang lemah sangat menggangguku. Aku malu. Aku malu karena menyerah begitu saja. Aku malu karena tidak tabah. Seharusnya tadi aku berpura-pura kuat, menyimpan masalahku untuk sendiri saja. Pikiran itu menggangguku hingga saat ini.
     Lalu, aku menemukan alasan mengapa aku memilih menyerah hari ini.
     Seorang scolioser, dilarang banyak hal berbeda oleh dokter. Scolioser, tidak boleh berlari dan melompat, karena kaki kami tidak sama panjang. Scolioser; tidak boleh berenang kecuali berenang gaya bebas dan punggung karena hanya gaya bebas dan punggung yang bisa membuat bahu kami seimbang. Scolioser, tidak diizinkan olahraga tanpa pengawasan ahli karena tulang kami rawan untuk digerakkan. Scolioser berjuang setiap harinya untuk menaati apa yang dilarang dokter.
     Tubuh kami dililit brace 24 jam sehari. Kami merasakan sakit dengan skala yang berbeda beda jika kami melakukan sedikit saja kesalahan. Kami didera rasa sakit hampir setiap malam karena dipan kami yang keras. Kami tidak lemah.
     Jika tadi aku bersikeras menjalani acara tersebut, sakitku bisa makin parah. Aku bisa saja mati rasa sekujur tubuh, yang akan memperparah keadaan tulangku. Aku tidak lemah. Aku disiplin. Aku menuruti apa yang dokter perintahkan. AKU TIDAK LEMAH! Seorang scolioser tidak pernah lemah. Kami kuat dengan cara kami sendiri. Mengutip dari kalimat Kak Indi Sugar, "...skoliosis bukanlah penyakit. Skoliosis itu kelainan. Artinya, skoliosis tidak bisa disembuhkan. Hanya bisa dikoreksi" yang bisa diartikan bahwa jika tulang belakang kami terasa sakit, kami tidak bisa meminum obat untuk menghilangkan sakitnya. Karena tak ada obat untuk itu. Kami hanya bisa diam. Menunggu sakitnya hilang. Mengoreksi kesalahan yang kami buat saat melakukan banyak kegiatan berat.
     Tak ada orang yang suka dibilang lemah. Semua orang kuat, hanya saja caranya berbeda beda. Menyebut lemah pada seorang scolioser bisa saja menghancurkan perasaannya. Apa rasanya, disebut lemah setelah berjuang mati-matian menahan sakit?
     Jadi, bloggers, jangan pernah sekalipun mengatakan bahwa scolioser adalah seseorang yang lemah. Jika kami beristirahat, kami mengoreksi lengkungan tulang kami. Jika kami berkata tidak sanggup, kami hanya memperjuangkan keadaan kami agar tidak semakin parah. Scolioser bukan orang-orang yang lemah.
     Karena orang-orang yang berjuang, tidak pantas disebut lemah.

-puterica.

Sabtu, 27 Juni 2015

"Ayo Lebih Rajin!"


Jakarta,
Spine Body Center, APL Tower, lt.25
27 Juni 2015
10:21 [WIB]

     Woops! Sudah lama sekali aku tidak melanjutkan jurnal ini. Bulan lalu, aku tidak sempat menuliskan hasil kunjunganku. Yaah, kesibukan menjelang ujian nasional memang tidak bisa kuhindari. Syukurlah, sekarang aku sudah lulus dengan nilai yang cukup memuaskan! Rencananya, aku akan melanjutkan sekolahku di SMAN 3 Bandung. Doakan aku ya! :)
     Kunjungan bulan lalu, kunjungan ketigaku di Spine Body Center (BackUp Clinic ganti nama!), tidak begitu menarik untuk diceritakan. Singkatnya, aku hanya diberikan bermacam-macam jenis exercise (senam) untuk dilakukan di rumah, oleh dr.Liem. Aku masih kesulitan mengikuti gerakan dr.Liem, tapi yaaa ada kemajuan jika dibandingkan dengan latihan pernapasanku di kunjungan sebelumnya. Jadi, senam itu meliputi gerakan memutar lengan kananku kebelakang, dan kembali lagi kedepan; tidur dengan posisi miring ke kanan, dengan gulungan handuk mengganjal bagian tulangku yang melengkung; dan memutar tubuhku —tanpa sedikitpun menggerakan leher, kaki, dan pinggul— searah jarum jam, sambil menyeimbangkan bahuku, agar punggungku tampak "rata". Kedengarannya sederhana, memang. Tapi aku tak bisa melakukannya tanpa meringis kesakitan. Yep, aku tak bisa memutar lengan kananku dengan normal, seperti yang bisa kulakukan pada lengan kiriku. Dr. Liem bilang, karena rotasi yang aku punya pada tulang belakangku, menyebabkan tulang punggung kananku menonjol dan tulang punggung kiriku melesak kedalam. Jadi aku tak bisa memutar lenganku karena tulang punggungku yang menonjol tidak menolerir gerakan itu. Tapi dr.Liem bilang, jika aku terus berlatih, aku akan bisa melakukan itu dengan sendirinya. Me"rata"kan punggungku seperti yang dikatakan dr.Liem tidaklah susah. Aku memakai rusuk depanku sebagai panduan, karena aku tidak bisa melihat bagian belakang tubuhku sendiri. Tidak terlalu sulit mulanya, namun jika dilakukan selama 15 menit tanpa berhenti, tulang belakangku terasa terbakar dan mati rasa.
     Jadi, aku kembali lagi kesini, hari ini. Jadwalku yang sudah ditentukan adalah review dengan dr. Liem (jam 08.30), dan exercise dengan Mbak Novi (jam 09.30). Aku review di ruang 4, ruangan yang setahuku biasanya digunakan dr.Fong. Tidak jauh berbeda dengan ruangan tempat biasanya aku review. Pertama-tama, pertanyaan-pertanyaan biasa.
"Berapa lama kamu pakai brace-nya?" Kujawab jujur, "20 jam sehari."
"Ada yang sakit?" Kujawab lagi, "ya, dok, pinggul kananku sering sakit dan aku masih kesulitan bernapas jika brace-ku dilepas." Mendengar jawabanku, dr.Liem tersenyum, "wajar, my dear, itu efek skoliosis."
"Shoelift?" Aku tersenyum, "selalu pakai."
"Exercise-nya?" Aku bisa merasakan wajahku memerah. Ibuku menimpali, "dia masih malas, dok." Dr.Liem menatapku dengan senyuman yang tak bisa kuartikan, "nah?" Sejujurnya, waktuku selama dua bulan terakhir kuhabiskan untuk belajar dan mengerjakan soal. Bagaimana mungkin aku ingat berlatih macam-macam hal yang sebenarnya tidak kusukai? Tapi aku tidak mengajukan pembelaan, aku hanya diam dan nyengir polos.
     Dr.Liem mengerutkan keningnya, dan mulai bercerita, "Saya punya seorang pasien, skoliosisnya sebenarnya tidak terlalu parah, namun dia malas. Malasnya lebih lagi dari kamu, dia hanya pakai brace 5 jam sehari. Dia melakukannya terus hampir sepanjang 6 bulan, dan hasilnya," dr. Liem menggeleng dengan ekspresi prihatin, "saya terpaksa harus mengancam dia dengan prosedur operasi, akhirnya dia tidak malas lagi. Tapi 12 bulan berikutnya, skoliosisnya memang berkurang, hanya saja tidak sebagus saat saya memakaikan brace itu pertama kali." Saat dr.Liem selesai bercerita, aku sadar itu juga ancaman halus untukku. Jika aku tidak melakukan apa yang seharusnya kulakukan, aku dipastikan menyesal suatu saat nanti.
     Setelah menjanjikan bahwa aku akan lebih rajin, dr.Liem memeriksa keadaanku saat aku menggunakan Spine Cor. Ada perasaan puas saat dr.Liem bilang, rotasi tulang belakangku (yang diatas) dalam keadaan netral. Lalu, dr.Liem mengukur lengkunganku dengan scoliometer. Kemudian, Suster Ara mengukur tinggi dan menimbang berat badanku (tinggi badanku naik 2cm!), lalu aku harus melepaskan brace dan memulai lagi pemeriksaannya dari awal. Pemeriksaan itu diulang tiga kali. Pertama dengan brace yang ditetapkan oleh dr.Liem bulan lalu, kedua tanpa brace, dan terakhir bracing ulang sesuai pemeriksaan hari ini. Dr.Liem bilang, keadaan tulang punggungku yang tidak sama rata ini sebenarnya diakibatkan oleh rotasi yang aku punya, bukan oleh lengkungan skoliosisku. Jadi, penting sekali bagiku untuk memakai Spine Cor ini selama mungkin, karena dalam keadaan memakai brace, rotasiku netral. Dr. Liem banyak menceritakan pasien-pasiennya, sambil memeriksa keadaanku. Ada pasiennya yang memenangkan kompetisi menari (gadis itu menari dengan Spine Cor melilit tubuh!), atau ada juga seorang anak 13 tahun yang rotasinya sudah mencapai 77°, namun masih berkeras menggunakan Spine Cor, walau sebenarnya itu sudah diluar kesanggupan brace manapun untuk mengoreksi. Sayangnya, setelah 3 bulan, terbukti bahwa operasi bedah adalah satu-satunya jalan untuk mengembalikan posisi tulang anak itu ke keadaan yang lebih baik. Oh iya, dr.Liem juga bilang, bahwa tingkat keberhasilan pengoreksian tulang belakangku ini, bergantung pada rajin tidaknya aku menggunakan brace (+shoelift), gen yang aku punya, dan seberapa sering aku exercise. Karena serajin apapun seseorang, jika gen nya tetap memaksa skoliosisnya untuk tetap atau bertambah melengkung, maka tidak ada brace yang bisa menolong. Kecuali, operasi bedah tentunya, yang mendengar prosedurnya saja sudah cukup untuk membuat siapapun ngeri.
     Ketika dr.Liem memeriksa keadaan brace-ku, ada satu komponen yang tidak elastis lagi. Artinya, karena komponen itu sudah tidak layak pakai, aku harus mengganti dengan yang baru. Berhubung kontrak garansi yang tiga bulan sudah lewat, aku dikenai biaya untuk komponen yang baru ini. Komponen itu tidak besar, tidak juga terlalu panjang. Panjangnya hanya sekitar 40 cm, dengan lebar 10cm. Warnanya juga putih bersih, tanpa motif apapun. Namun, untuk penambahan komponen itu orang tuaku harus mengeluarkan biaya yang lumayan.
     Setelah review, aku harus exercise bersama Mbak Novi. Mbak Novi itu salah satu terapist di Spine Body Center. Ia manis dan rambutnya dipotong pendek. Exercise-ku cukup sederhana. Aku melakukannya tanpa mengenakan brace. Dimulai dari latihan pernapasanku (yang sudah mulai kukuasai), lalu gerakan sederhana lainnya. Aku harus memutar tubuhku — hanya tubuhku— ke kiri, lalu memutarnya kembali ke kanan tanpa mengubah posisi bahu kiriku. Dengan posisi seperti itu, tulang belakangku berada dalam keadaan stretch. Lalu, aku harus menggeser masuk tulang belakangku yang melengkung (bagian kanan). Bagian ini sedikit sulit, namun lama kelamaan aku bisa. Jadi, tarik napas; putar kiri; putar kanan; geser. Gerakan ini sangat sederhana sebenarnya, tapi aku harus melakukannya semaksimal mungkin. Mbak Novi bilang, aku harus banyak berenang. Aku terlalu kaku, katanya, dan berenang juga akan membantu untuk memaksa tulang belakangku kembali ke posisinya yang benar. Mbak Novi hanya menyarankan agar aku berenang dengan gaya bebas agar keadaan bahuku seimbang. Tiap setengah menit, Mbak Novi mengencangkan posisiku sehingga punggungku panas dan perih. Setiap senti dari ototku menjeritkan rasa sakit yang sama. Aku berusaha keras agar tidak meringis. Kami melakukan stretching — meregangkan otot— setiap 5 menit sekali. Aku mengulang gerakan itu sebanyak 3 kali. Dua kali dalam posisi duduk, sekali dalam posisi berdiri. Namun, saat aku selesai stretching dan berdiri untuk melakukan exercise-nya sekali lagi, aku segera tau ada yang salah.
     Sudut-sudut pandanganku mulai menghitam, rasa sakit menghantam kepalaku begitu aku memejamkan mata. Aku membuka mata berharap mulai membaik, namun keadaan malah semakin buruk. Ruangan ini terasa berputar, dan titik titik hitam di mataku muncul semakin banyak. Aku mencengkram kursi dan duduk terhenyak disitu. Mbak Novi menyapaku khawatir, tapi suaranya terasa jauh sekali. Aku menggumam — atau kurasa itu suaraku— memanggil ibuku, dan saat ibuku ada disampingku, memanggilku, rasa panik dan sakit menguasaiku. Aku meringkuk dikursi, kewalahan dengan pusing dan mual yang menyerangku. Pandanganku sudah benar-benar hitam. Jangan pingsan disini, jangan pingsan disini. Aku masih membenamkan wajahku di tangan. Akhirnya, aku membaik. Hanya tersisa sedikit rasa mual, tapi pandanganku tak lagi gelap. Aku tidak tau apa yang membuatku membaik, tapi kelihatannya minyak kayu putih ditangan Mbak Novi-lah jawabannya. Aku mengangkat wajah dan melihat wajah cemas Suster Ara, Suster Isa dan Ibuku disekelilingku. Mbak Novi adalah satu-satunya yang tidak terlihat cemas. Ia membalurkan minyak kayu putih itu disekujur tubuhku dan memijat leherku. Aku nyaris mendesah lega saat rasa dingin dari minyak kayu putih itu mengalir di leherku. Saat aku melihat kaca, yang kulihat adalah bayanganku dengan wajah lesi. Aku membiarkan Mbak Novi memulihkanku, dan suaranya terdengar menenangkan, "gapapa, kamu lagi puasa kan? Wajar" ujarnya. Pasti karena capek dijalan, ditambah lagi aku melakukan segala gerakan menyakitkan tadi itu membuatku jadi drop. Tapi syukurlah aku tidak muntah sehingga tidak perlu membatalkan puasaku.
     Setelah aku pulih, aku ditinggalkan sendirian untuk berganti pakaian. Walau tubuhku sudah menguarkan aroma minyak kayu putih yang menyengat tapi aku tidak peduli. Aku malah membalurkan lebih banyak lagi di perut dan leherku. Setelah memakai brace dan pakaianku, aku pulang.
     Kunjunganku hari ini, membuatku sadar kalau aku harus rajin exercise, dan menuruti semua kata dokter. Apa saja yang membuat tulang belakangku membaik harus kulakukan. Jadi... Doakan aku ya, pembaca!♥

-puterica.
p.s: postingan berikutnya akan berisi foto-foto tentang skoliosisku. stay tune!

Minggu, 01 Februari 2015

My Scoliosis is Move!


On my way to home,
Still in Jakarta.
1-02-2015.
21:00

     My first visit to Back Up Clinic on 2015. Tak ada yang berbeda dari ruang tunggu yang elegan ini. Masih ada Kak Veni—yang menyambutku dari balik mejanya begitu aku membuka pintu klinik— dan Suster Ara—yang muncul dari balik pintu— tersenyum dan menatapku dari balik kacamatanya. Masih sama, tidak ada yang beda. Aku menghabiskan 3 jam perjalanan dengan Ayah, Ibu, dan kedua adikku, menuju kesini, APL Towers lt.25 yang lorong-lorong sepinya sudah sering kulewati bolak-balik. Sesampainya aku disana, pukul 13.45, dr.Liem ternyata masih lunch. Bagus, masih ada kesempatan untuk menikmati secangkir choco latte panas.
     Dr.Liem masuk tepat saat aku meneguk tetesan latte terakhirku. Dr.Fong masuk bersamaan. Mereka menyapa para pasien—selain aku ada seorang wanita paruh baya dengan dua asistennya— dengan ramah seperti biasanya. Lalu aku dipersilakan masuk. Ruangan dr.Liem, entah kenapa, pindah ke sebuah ruangan dengan sekat tirai biru yang tebal. Aku duduk dan seperti biasa, pertanyaan rutin dari dr.Liem pun dilontarkan.
"Berapa lama brace-nya kamu pakai?"
"Sudah exercise?"
"Masih sesak napas?"
"Ada bagian yang sakit?"
"Ada tali yang longgar?"
"Shoelift-nya dipakai,kan?"
     Aku menjawab semua dengan hanya anggukan atau gelengan kepala. Sampai sekarang, aku masih belum terbiasa bercakap-cakap dengan dr.Liem. Bukan karena kemampuan bahasa Inggrisku parah, aku hanya terlalu malu untuk bertanya atau menyapanya. Tidak usah bilang, aku tau aku payah.
     Lalu dr.Liem memeriksaku seperti biasanya. Aku disuruh berdiri dan tulang punggungku ditandai. Oh iya, hari ini, aku ditemani Suster Ara. Dengan setianya ia berdiri disampingku dan mengulangi kata-kata yang diucapkan dr.Liem.
"more than 5 clockwise"
"10 counter clockwise"
"5 clockwise"
Aku. Tidak. Mengerti. Apa. Yang. Dr.Liem. Ucapkan.
     Tapi seiring dia mengucapkannya, aku sering kali merasa takut. Aku takut kurva tulangku bertambah parah, atau mungkin rotation yang ada pada tulangku tidak berkurang, atau mungkin bahuku tambah naik? Aku hanya diam. Diam dan menatap cermin besar didepanku, sambil menahan dinginnya ruangan abu-abu itu. Perlu diketahui, aku hanya memakai kaus putih tipis tanpa lengan, dan celana pendek yang sama tipisnya, dengan brace mengikat sekujur tubuhku.
     Sebelum diperiksa menyeluruh, dr.Liem memintaku untuk melakukan exercise untuk pernapasan bersamanya. Karena ahli fisioterapi-nya sedang sakit, dan aku diharuskan untuk cepat-cepat berlatih untuk bernapas, maka dr.Liem akan mengajariku secara pribadi. Oh bagus sekali, sekarang untuk bernapas pun aku dilatih. Rasanya seperti terlahir kembali.
     Berlatih bernapas dengan perut, bukan dengan dada, bukan hal yang terlampau sulit. Tapi dengan skoliosisku, aku menjadi sulit untuk mengencangkan otot-otot diperutku. Jadi, dr.Liem memberiku 'oleh-oleh' sebuah bola untuk exercise-ku dirumah, yang harus kulakukan 3 kali sehari. Satu kali exercise aku harus melakukan tarik-napas-dengan-bola ini sebanyak 15 kali. Take a deep breath, hold it, and shooooo...
     Ok, it's not as easy as you think, so just wish me luck with this exercise.
     Next, waktunya pemeriksaan dengan corrective movement. Corrective movement dengan tipe skoliosisku tidak begitu sulit, bagi orang yang normal. Tapi bagiku, rasanya sangat tidak menyenangkan. Aku harus berputar, menggeser tubuhku ke arah yang berlawanan dengan melengkungnya skoliosisku, dan menurunkan bahuku sampai tulangku lurus. Dan itu sulit bukan main. Kuakui, aku anak yang malas berolahraga. Jadi, seluruh ototku lemas dan lembek sekali. Wajar jika aku kesulitan mengikuti dr.Liem yang dengan lincahnya mengajariku corrective movement yang benar.
     Setelah berulangkali melakukan corrective movement itu, akhirnya dr.Liem cukup puas dan mengizinkan aku berhenti. Lalu, waktunya mengukur skoliosisku dengan scoliometer. Bisa dibilang, aku sedikit tegang. Entah apalagi yang akan dr.Liem katakan. Dengan banyak sekali lepas-pasang brace, akhirnya dr.Liem memutuskan untuk 'mengembalikanku' ke RT1. Tipe brace saat aku pertama kali datang untuk bracing disana. Bracing-bracingku yang selanjutnya juga berganti-ganti tipe. Tipe terakhir adalah RT11-Modify+shoelift, yang merupakan perpaduan antara RT1 dan RT11. Mengapa aku kembali berganti tipe brace? Skoliosisku pindah. Ya. Pindah.
     Kata pertama kali yang dr.Liem lontarkan dengan lugas—setelah banyak menggumam kecil—saat bracing tadi adalah "Puteri, your scoliosis is move," dengan tanpa ekspresi sama sekali, selain mengerutkan keningnya. Aku sangat terkejut. Apa maksudnya? Saat melihat wajahku yang mungkin terlihat shock, dr.Liem tersenyum dan berkata tenang, "wajar, kamu masih dalam masa pertumbuhan". Aku sedikit lega.
     Setelah bracingku selesai, aku diizinkan berganti pakaian. Ketika aku berganti pakaian, dr.Liem memberitahukan sesuatu pada ibuku. Aku mendengarnya. Aku tidak tau apakah itu bisa disebut kabar yang menyenangkan.
     "Skoliosis Puteri, pindah ke bawah. Wajar, ada beberapa anak yang juga mengalami ini. Karena ia dalam masa pertumbuhan. Jadi, saya mengganti tipe brace-nya dengan RT1, lagi, karena itu memang lebih sesuai dengan skoliosisnya yang sekarang," ujar dr.Liem. "Lalu, satu hal lagi. Ada seseorang yang memang secara genetik memiliki skoliosis. Jadi, seberapa keraspun kami mencoba, skoliosis itu tetap mendesak melengkung keluar. Tapi dengan SpineCor, skoliosis itu akan tertekan kedalam, jikapun tidak merubah, itu akan membantu menahan tulang untuk tetap dalam keadaan yang diinginkan. Puteri datang kesini, saat kurva tulang belakangnya sudah 38°. Kami memang masih bisa menanganinya, tapi kemungkinannya sangat kecil untuk bisa membuat skoliosisnya ada dibawah 10° atau 15° dalam waktu dua tahun. Sampai sekarang, skoliosisnya terjaga saat ia memakai brace, tapi tidak saat ia melepasnya. Jadi sangat saya ingatkan pemakaian brace ini tidak boleh kurang dari 20 jam sehari.
     "Mungkin perubahan yang bisa dicapai oleh kami selama dua tahun ini takkan terlalu pesat, tapi yakinlah kami dapat merubah skoliosisnya menjadi lebih ringan. Katakanlah, 25° sampai 20°. Tapi, selama ia memakai brace ini sampai tulangnya berhenti tumbuh, skoliosisnya terjaga. Jangan terlalu khawatir," dr.Liem menatapku dan tersenyum.
     "Kamu juga, jangan lupa exercise-nya ya? Jangan malas, ingat" dr.Liem mengambil bola pemberiannya dari atas meja dan menyerahkannya ke tanganku. "This ball is your bestfriend now". Aku menatap bola di tanganku dan terdiam.
     Setelah menerima surat pengantar dari dr.Liem untuk guru olahragaku, aku pulang. Dan disinilah aku, di tengah deru kendaraan dan tetesan hujan, merenungkan bagaimana aku harus benar-benar bertekad untuk merubah keadaan skoliosisku. Tidak ada yang mustahil di dunia ini. Tidak ada usaha yang gagal jika diiringi dengan doa, dan Tuhan mendengar setiap doa hambanya.
     Seusai shalat maghrib, aku mengatupkan mataku dan berdoa panjang lebar padaNya.
Bismillahirrahmanirrahim...


-puterica.